Opini Kepala Pusat Publikasi Dan Kekayaan Intelektual LPPM Untag Surabaya

  Jumat, 07 September 2023 - 12:34:29 WIB   -     Dibaca: 141 kali

Opini Kepala Pusat Publikasi Dan Kekayaan Intelektual LPPM Untag Surabaya

Opini Kepala Pusat Publikasi Dan Kekayaan Intelektual LPPM Untag Surabaya berjudul Apakah Semua Undang-Undang Harus Pro Rakyat?

Kurang lebih 13 tahun lalu terdapat intervensi yang digaungkan pemerintah untuk program prorakyat mengatasi kemiskinan. Program yang dimaksud seperti Jamkesmas, PKH, jaminan lanjut usia, PNPM Mandiri hingga KUR. Artinya untuk prorakyat dibutuhkan kekuatan negara agar sesuatunya berjalan baik. Khusus dalam hal ini adalah kemiskinan (berita yang saya akses dari Setneg.go.id bersumber tanggal 23 November 2010). Terdapat hal yang bertolak belakang didalamnya karena prorakyat harusnya mengikuti kehendak rakyat. Jika membicarakan lebih lanjut maka harus dikaitkan dengan Ilmu negara yang menjadi bagian penting dalam pengajaran Fakultas Hukum. 
Salah satunya menurut Lucius Annaeus Seneca, tujuan besar hidup yaitu untuk memperoleh kebajikan dalam hal teoritis dan praktis hingga seluruhnya menjadi luas fase kehidupan tersebut. Artinya dalam segala hal tidak bisa berfokus namun terdapat hubungan dengan apapun yang saling melengkapi. Jikalau demikian maka membutuhkan pemimpin yang selalu berfilsafat karena ia akan menyelesaikan masalah dengan baik. Ketika menyelesaikan permasalahan maka ada hal yang muncul yaitu masalah selesai demi rakyat yang dipimpinnya atau masalah selesai demi dirinya sendiri. Konsep demikian pada akhirnya semakin berkembang hingga muncul negara kesejahteraan. 
Apabila mengacu pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia sebetulnya menganut negara kesejahteraan karena ketika kesejahteraan meningkat maka memiliki dampak bahagian kepada masyarakat. Dalam perspektif awam, negara yang sejahtera berarti negara yang prorakyat. Tetapi analoginya ketika negara dalam keadaan terdesak sehingga menaikkan harga kebutuhan pokok yang berimplikasi akan tumbangnya perekonomian, maka masih bisa disebut prorakyat? 
Tidak bisa diketahui secara pasti arah suatu negara namun prorakyat menjadi hangat kembali ketika UU Kesehatan mendapat kritik tajam padahal sebelumnya juga terjadi yaitu di UU Cipta Kerja. Kembali lagi pada kerangka acuan yang dilakukan negara tentang prorakyat atau tidak maka selalu menimbulkan perdebatan. Walaupun berdasarkan kontrak sosial, negara juga memiliki akses tidak tak terbatas terhadap apapun didalamnya. Kekuasaan dalam membentuk peraturan perundang-undangan sebetulnya milik legislatis namun didalamnya terdapat kekuasaan eksekutif. Pembedaan ini penting karena kedua kekuasaan ini akan melihat sejauh mana produk hukum yang dihasilkan mampu mendamaikan dan memberikan rasa nyaman dalam masyarakat. Secara normatif dengan dimasukkan omnibus sebagai salah satu metode pembentukan peraturan perundang-undangan maka kekekalan prorakyat bisa menguat dan melemah. 
Menguat yang dimaksud ketika negara menerima prorakyat versi rakyat yaitu terpenuhinya kontrak sosial melalui undang-undang yang ada. Sementara melemah yaitu penolakan prorakyat versi masyarakat karena negara memiliki data yang kompleks untuk menentukan undang-undang manakah yang mendapat prioritas atau tidak. Prorakyat dalam negara modern merupakan kebijakan yang tidak bisa diselesaikan dengan suatu undang-undang saja karena semakin banyak undang-undang yang ada menunjukkan ketidakmampuan negara dalam mengelolah banyak hal. Tetapi harus disatukan dalam metode omnibus sehingga undang-undang yang dihasilkan selalu menunjukkan dinamika. Walaupun secara teori pemisahaan kekuasaan – kekuasan yudisial sejajar dengan eksekutif dan legislatif tetapi ada yang disebut politik yudisial. 
Walaupun kedaulatan berada di tangan rakyat tetapi tren prorakyat diserahkan kepada kekuasaan yudisial. Penolakan akan keberlakuan dari suatu undang-undang oleh masyarakat sebetulnya cerminan dari kritisnya masyarakat untuk membela dirinya. Namun dibenarkan juga politik yudisial yang seolah-olah jika ada masalah dengan undang-undang maka segeralah uji kepada Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Semuanya tergantung heirarkhi peraturan perundang-undangannya. Arti putusan dari Mahkamah Konstitusi sebetulnya menunjukkan kekuasaan yang tidak sejajar dengan eksekutif atau legislatif. Produk hukum yang mereka buat pada akhirnya tunduk oleh kekuasaan yudisial.
Menurut saya, politik yudisial ini cara efektif yang dilakukan negara ketika terjadi penolakan akan definisi prorakyat dalam suatu undang-undang. Apalagi hal ini didukung adanya banyak jenis lembaga negara yang dibentuk berdasarkan berbagai jenis peraturan perundang-undangan. Misalnya ada yang dibentuk dengan Keputusan Presiden, Undang-Undang hingga Perppu. Ketimpangan tersebut menambah tugas negara untuk menyatukan ide prorakyat yang tersebar di berbagai lembaga negara. Kalau mau dipecah lagi, makna lembaga negara menurut Hans Kelsen terletak pada kata “siapapun”. Lembaga negara bisa siapapun karena menunjukkan pentingnya lembaga negara dalam suatu negara. Sebagai jawaban apakah semua undang-undang harus prorakyat maka jawaban ya atau tidak bukanlah sikap berserah yang baik. Letaknya bukan pada jawaban namun sejauh mana kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial mampu melakukan transformasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sikap prorakyat adalah sikap yang harus dimuliakan tetapi kesemuanya itu tergantung akan sikap negara karena sifatnya yang memaksa, monopoli dan keduanya sebetulnya juga prorakyat. Hanya kembali ke diri kita masing-masing saja bagaimana mengartikan prorakyat yang faktual itu. Terbit di Media Indonesia 2 Agustus 2023.


Untag Surabaya || Fakultas Hukum Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya